Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Berbagai jenis tanaman obat pun tumbuh subur di Tanah Air. Hadi kardoko, CEO Pharos, mengatakan bahwa data LIPI tahun 2020, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar keempat di dunia dengan lebih dari 29.000 spesies tanaman diantaranya 2.484 spesies dikatakan sebagai tanaman obat. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu yang dilakukan pada tahun 2007, memberikan data bahwa dari 2.484 spesies tumbuhan obat dengan 32.024 ramuan obat (liputan6.com, 2021).
Kekayaan alam Indonesia juga telah dimanafaatkan oleh industri farmasi untuk menghasilkan obat herbal nabati atau biasa disebut Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Hal ini juga didukung dengan perintah Presiden kepada Kementerian Kesehatan melalui Inpres Nomor 6 tahun 2016 untuk memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alkes yang mengarah biopharmaceutical, vaksin, natural, dan Active Pharmaceutical Ingredients (API) kimia (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 2019).
Obat herbal dikenal lebih aman, kecil presentase adanya efek samping, dan lebih murah dibandingkan dengan obat-obatan sintetik. Masyarakat biasa menyebut obat herbal dengan sebutan Jamu, yang memiliki berbagai macam khasiat seperti menjaga kesehatan tubuh dan menyembuhkan penyakit seperti anti nyeri, anti inflamasi, anti diabetes dan suplemen tubuh (Rohman, Abdul., 2022).
Penggunaan obat herbal ini harus tetap dipantau sama ketatnya seperti obat sintetik walaupun efek samping yang ditimbulkannya lebih rendah dibandingkan dengan obat sintetik. Pemantauan ini mulai dari bahan baku hingga produk jadi untuk memastikan kualitas dari obat herbal. Fourier Transform InfraRed (FTIR) bisa menjawab kebutuhan tersebut untuk menganalisis obat herbal dengan sensitivitas, kecepatan dan juga yang sudah tervalidasi dengan protokol farmasi dunia (EP, JP, USP, dsb) (Ciorciari, Juan et all., 2007).
Permasalahan Analisa obat herbal adalah tidak sama seperti obat sintetik yang umumnya memiliki komposisi kimia yang spesifik. Obat herbal banyaknya ditemui dalam bentuk campuran yang mana cukup sulit untuk dianalisa. Namun, itu bisa diatasi dengan menggunakan FTIR, tidak peduli seberapa mirip spektrumnya akan tetap bisa dibedakan dengan menggunakan FTIR. Maka dibutuhkan software tambahan untuk bisa membedakan antara obat herbal satu dengan yang lainnya. Thermo Scientific memiliki software TQ AnalystTM dengan berbagai macam chemometric. Salah satu kemometrik untuk membedakan obat herbal satu dengan yang lainnya adalah discriminant analysis (DA). Kemometrik DA ini sangat powerful untuk mengklasifikasikan suatu komponen yang sudah diketahui maupun tidak diketahui dengan catatan sampel yang dibaca masih masuk dalam substansi kelas tersebut. Hal ini menjadikan FTIR sangat powerful untuk screening awal produk.
Mengutip jurnal yang di publish oleh Bapak Abdul Rohman dan kawan-kawan, peneliti sekaligus dosen dari Institute of Halal Industry and System (IHIS) Universitas Gadjah Mada pada tahun 2022 mengenai pengujian salah satu obat herbal yang cukup terkenal dan sering digunakan oleh Masyarakat Indonesia yaitu, Jamu Pegel Linu (JPL), Jamu Encok (JE), dan Jamu Sakit Pinggang (JSP). Pada studi kasus kali ini peneliti menggunakan FTIR dengan beberapa kemometrik (PCR, PLS, dan discriminant analysis) untuk mendeteksi adulterasi (Prednisone dan Metamizole) pada campuran di obat herbal.
Penelitian ini menggunakan Nicolet iS10 FTIR Thermo Scientific dengan aksesoris ATR. Nicolet iS10 FTIR (saat ini sudah berganti menjadi Nicolet Apex) merupakan tipe medium dari Thermo Scientific yang memiliki sensitivitas lebih baik dan bisa digabung/kopling dengan beberapa instrument (TGA atau mikroskop IR) sehingga sangat direkomendasikan untuk analisis ke arah riset.
Obat herbal penghilang rasa nyeri (JPL, JE, dan JSP) yang digunakan dalam bentuk bubuk dan dicampur dengan Prednisone dan Metamizole dicampur sampai homogen. Sampel yang diketahui konsentrasinya digunakan sebagai kalibrasi dan validasi untuk pengujian kuantitatif. Setiap obat herbal dibuat dalam 11 konsentrasi yang diberikan adulteran dengan range konsentrasi 0-100% (wt/wt). Setelah dilakukan pembacaan, spektrum akan diolah lebih lanjut dengan menggunakan kemometrik Partial Least Square (PLS) dan Principal Component Regression (PCR). Untuk beberapa data akan dianalisis dengan statistikal parameter R2, Root Mean Square Error of Prediction (RMSEP), dan Root Mean Square Error of Calibration (RMSEC). Sampel yang sama juga digunakan untuk analisis Discriminant Analysis. Parameter tanda kebereterimaan menggunakan nilai R2 (koefisien) kalibrasi dan validasi, RMSEC, dan RMSEP.
Berikut Tabel 1. Komparasi analisis kuantitatif antara PLSR dan pCR pada Jamu Pegel Linu (JPL) yang diberikan adulterasi prednisone dan metamizole.
Nilai R2 menunjukkan keberterimaan parameter satu dengan yang lainnya dan begitu juga dengan RMSEC dan RMSEP. Regian spektrum yang digunakan untuk pengujian Discriminant Analysis adalah area bilangan gelombang 3933-716cm-1 dan hasilnya dievaluasi dalam bentuk Coomans Plot untuk melihat level keakurasian.
Adulterasi percampuran tersier yang dilakukan pada prednisone dan metamizole pada obat Pereda nyeri ini sering ditemukan oleh BPOM. Nilai PCA pada pengujian sebelumnya menunjukkan perbedaan antara obat herbal yang tidak terkontaminasi dan obat-obatan. Obat herbal pereda nyeri memiliki beberapa functional group yang unik pada Panjang gelombang OH di 3288 cm-1, C=O functional group di 1713 cm-1, dan C-O group pada 1018 cm-1.
Berikut Tabel 2. hasil dari pengujian kuantitiatif Jamu Encok (JE) yang diberikan perlakuan percampuran tersier dengan prednisone dan metamizole.
PLSR, PCR, panjang gelombang, dan tipe spektrum derivatisasi bisa digunakan untuk mengoptimalkan analisis kuantitatif. Parameter statistik yang digunakan dapat mengevaluasi model keakurasian. Percampuran tersier prednisone dan metamizole dalam jamu pegal linu menggunakan derivative Tunggal dengan statistik PCR didapat kan nilai optimal di Panjang gelombang 1436-736 cm-1. Nilai kalibrasi R2, RMSEC, prediksi R2, dan RMSEP yang didapat adalah 0,9991, 1.44, 0,9978, dan 2.71. Pada jamu encok menggunakan dua area panjang gelombang (1636-682 dan 1436-736) cm-1 dengan statistic PCR. Nilai yang didapat adalah 0.9992, 1.32, 0.9957, dan 3.41 yang dibagi dalam kalibrasi R2, RMSEC, prediksi R2, dan RMSEP.
Berikut Tabel 3. hasil pengujian kuantitatif Jamu Sakit Pinggang (JSP) yang diberikan perlakuan percampuran tersier prednisone dan metamizole.
Pada metode PCR campuran tersier pada jamu sakit pinggang di panjang gelombang 1636-682 cm-1 dan kalibrasi R2, RMSEC, prediksi R2, dan RMSEP didapatkan nilai 0.9989, 1.57, 0.9976, dan 2.39. Nilai regresi didapatkan dari kurva antara sumbu X sebagai nilai actual dan sumbu Y sebagai nilai yang terkalkulasi.
Aplikasi spektrum derivative, bertujuan untuk mengurangi masalah pada spetkrum yang saling tumpang tindih satu sama lain namun dapat mengurangi sensitifitasnya. Nilai determinasi koefisien (R2) yang tinggi dan nilai RMSEC dan RMSEP yang rendah, menunjukkan bahwa data kuantifikasi yang didapatkan akurat dan presisi.
Metode Discriminant Analysis (DA) dapat mengkualifikasikan antara obat herbal nyeri asli dengan obat herbal nyeri palsu. Berdasarkan hasil The Coomasn Plot menunjukkan level akurasi 100% untuk prednisone dan metamizole dalam porduk obat herbal nyeri pada panjang gelombang 3933-716 cm-1 dan mengkalkulasi jarak Mahalanobis. Hasil ini merepresentasikan bahwa DA bisa digunakan untuk mengklasifikasikan obat herbal murni dari pencampuran obat sintetik lainnya tanpa ada kesalahan.
Kesimpulan dari pengujian ini adalah penggunaan FTIR dengan multivariatif kalibrasi (PLSR dan PCR) dan juga DA bisa untuk mengkuantifikasi dan klasifikasi pencampuran tersier pada obat herbal pereda nyeri dan predndisone dan metamizole. Metode ini sangat efektif dan efesien untuk mensupervisi adulterasi obat herbal dengan obat sintetik.
PT. Alphasains Dinamika merupakan distributor peralatan laboratorium seperti FTIR, Raman, GC, GC-MS, Digital Microscope, dll yang memiliki keagenan beberapa brand dari berbagai negara di dunia, baik Asia, Amerika maupun Eropa. Beberapa brand diantaranya adalah Thermo Scientific (US), Young In Chromass (Korea Selatan), OSS (US), DeltaPix (Denmark), dan lainnya. Untuk informasi lebih lanjut mengenai produk kami, silahkan kunjungi www.alphasains.com atau email ke sales@alphasains.com.
Referensi:
Liputan6.com. Indonesia Berpeluang Menjadi Pemain Utama Indsutri Obat herbal Dunia. Diakses pada 28 Februari 2024, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4714617/indonesia-berpeluang-menjadi-pemain-utama-industri-obat-herbal-dunia?page=2.
Rokom. Kemenkes Dorong Pengembangan Industri Obat Tradisional. Diakses pada 28 Februari 2024, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20190820/5431405/kemenkes-dorong-pengembangan-industri-obat-tradisional/.
Ciorciari, Juan, et all. 2007. Classification of Nutraceutical Herbal Powders by FT-IR Using ATR and Discriminant Analysis, Application Note: 51254.
Rohman, Abdul, dkk. (2022). Application of FTIR-ATR Spectroscopy in Combination With Multivariate Analysis to Analyze Synthetic Drugs Adulteration in Ternary Mixtures of Herbal Medicine Products. Indonesian Journal of Pharmacy, 33 (1), 63-71.